Nasional

Konflik Alumni UI yang ‘Ber-BH’ Lawan ‘Tanpa BH’

Alumni UI terbelah dalam menentukan sikap atas hak angket KPK. Barisan sakit hati mendukung langkah Pansus Angket KPK.

Reporter: Gresnia Arela F., Ibad Durohman, Aryo Bhawono
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

Agun Gunandjar Sudarsa sudah menanti rombongan lelaki paruh baya berjas almamater kuning di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Mereka adalah rombongan yang mengaku bernaung di balik nama Universitas Indonesia.

Sekumpulan alumnus perguruan tinggi terbaik versi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 2017 itu ingin mendukung Pansus Hak Angket KPK yang dipimpin oleh Agun. Kehadiran alumni yang tergabung dalam Ikatan Alumni UI (Iluni) Badan Hukum itu bagian dari penggalian aspirasi. Mereka dianggap cukup mewakili kehadiran akademisi.

“Tadi menyampaikan beberapa aspirasi. Intinya ada beberapa poin. Mudah-mudahan Pansus akan tetap berfokus dalam bekerja,” ucap Agun.

Pansus Hak Angket KPK belakangan getol mencari dukungan akademisi setelah satu per satu akademisi justru menolak kerja mereka. Sebut saja pernyataan 357 guru besar se-Indonesia yang dilayangkan pada 19 Juni lalu, 65 guru besar dari 24 universitas sekawasan timur Indonesia pada 20 Juni, pernyataan ratusan dosen Universitas Gadjah Mada pada 10 Juli 2017, dan lainnya.

Namun kehadiran Iluni UI Badan Hukum ini menuai kontroversi. Pasalnya, pada hari yang sama, alumni UI yang bergabung dalam Iluni UI melakukan aksi penolakan hak angket di gerbang kompleks Senayan.

Iluni UI pimpinan Arief Budhy Hardono ini melakukan langkah yang sama dengan akademisi pendukung KPK. Arief berdiri di belakang bak mobil terbuka berwarna kuning sambil menggenggam mikrofon. Jumat, 7 Juli 2017, ia bergabung dengan kelompok antikorupsi menolak Pansus Hak Angket KPK bersama rekan seorganisasinya di Iluni UI.

Sesekali pekik menghujat koruptor dari bawah panggung menyambut orasinya. Dukungan lembaganya bakal terus menentang DPR jika mengganggu KPK. “Aksi bersama ini tidak akan berhenti pada hari ini, melainkan akan terus berlanjut sampai pemberantasan korupsi mencapai hasil dan tak ada lagi pejabat negara dan elite merampok uang negara,” ujarnya.

Dua organisasi, Iluni UI dan Iluni UI Badan Hukum, sudah lama berseteru. Juru bicara Iluni UI, Eman Sulaeman Nasim, mengaku lembaganyalah yang sah. Iluni UI bernaung di bawah Rektorat UI.

Sedangkan Iluni UI Badan Hukum merupakan barisan sakit hati atas konflik pemilihan pengurus yang digelar pada 2016. Mereka membentuk organisasi sendiri dan mendaftar sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM.

“Di masyarakat ini ada dua iluni, Iluni BH (Badan Hukum) dan Iluni tanpa BH. Sebetulnya Iluni BH itu bukan iluni. Mereka hanya mendaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Itu namanya perhimpunan iluni. Tapi, kalau mereka keluar aksi, itu selalu menggunakan nama Iluni UI,” ujar Eman.

Pembentukan Iluni UI BH dimotori oleh beberapa alumnus yang kini duduk sebagai anggota DPR pro-Pansus Hak Angket KPK, salah satunya Fahri Hamzah. Karena itu, Eman tak heran jika ada aksi mengatasnamakan alumni UI dan mendukung Pansus.

Padahal, secara keabsahan, Iluni UI yang sah adalah yang bernaung di bawah rektorat. Mereka meneruskan keberadaan organisasi yang berdiri sejak 1950-an itu.

Soal urusan antikorupsi, organisasi ini selalu mendukung KPK. Katakan saja sejak ada polemik “cicak vs buaya”, antara KPK dan Polri, Iluni UI mendukung KPK.

Sekretaris Jenderal Iluni UI BH Achmad Hidayat mengakui soal keberadaan organisasinya sebagai tandingan Iluni UI. Konflik yang ada saat itu membuat orang-orang yang tak puas atas terpilihnya Arief Budhy Hardono sebagai Ketua Iluni UI membentuk Iluni UI Badan Hukum.

“Yang berbadan hukum itu ya kami, yang diakui oleh negara, yang mengikuti UU Ormas,” tutur Achmad.

Beberapa nama aktivis memang “menghidupi” Iluni UI BH, bukan hanya Fahri Hamzah. Achmad menyebut beberapa nama aktivis yang menjadi politikus, di antaranya Fadli Zon, Rama Pratama, Ari Wibowo, dan Andi Bachtiar.

Achmad mengaku Iluni UI Badan Hukum selalu kritis kepada pemerintahan. Pada aksi 4 November 2016 (411) lalu, mereka turut turun ke jalan menuntut pengusutan dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama.

“Iluni UI BH bukan barisan sakit hati, tapi penegak perjuangan Iluni UI yang mengemban amanah Ampera sejak tahun 1953,” imbuh Achmad.

Fahri Hamzah mengaku memberikan dukungannya kepada Iluni UI BH karena dia merasa ada yang keliru dalam pembentukan pengurus saat itu. Ia sempat mengundurkan diri sebagai calon ketua dan bergabung dengan Iluni UI BH.

“Bagaimana ada dasar hukumnya. (Iluni UI BH) itu jelas badan hukumnya, dan teman-teman itu lebih revolusioner,” jelasnya.

Polemik berkepanjangan yang berbuntut pada penentuan sikap ini membuat anggota Dewan Pertimbangan Iluni UI, Dipo Alam, prihatin. Menurutnya, sampai sekarang ada lima organisasi yang mengatasnamakan alumni UI. Selama melakukan aksi, mereka selalu mengatasnamakan almamaternya.

Padahal menyikapi soal politik tak perlu membawa-bawa almamater. Ia mencontohkan Sri Bintang Pamungkas, yang pernah terjerat kasus makar. Sebagai pengajar, Sri Bintang tak pernah menyebut UI.

“Mereka harus bertanggung jawab atas gerakan mereka sendiri, baik itu ke KPK maupun DPR. Kira-kira itu hak mereka, kan. Jadi harus bertanggung jawab sendiri,” ujarnya.  (*)