Bola

Variasi Baru Lini Depan Juventus dalam Skema 4-2-3-1

Kesuksesan Massimiliano Allegri di Juventus awalnya dianggap hanya karena mampu meneruskan formasi 3-5-2 yang diwariskan Antonio Conte. Conte, yang kini menukangi Chelsea, memang memberikan fondasi yang kuat bagi pertahanan maupun penyerangan Juventus dalam meraih scudetto.

Namun Allegri sendiri sebenarnya mengubah intensitas pressing Juventus kepada lawan menjadi kurang agresif. Gaya permainan mereka menjadi lebih sabar dan difokuskan untuk menjaga kepemilikan bola agar mendapatkan keuntungan secara teritorial di lapangan dan lebih menghemat energi. Skema ini cukup berhasil karena Juventus menjadi kesebelasan yang efektif memenangi bola di lini tengah dan rajin mencetak gol melalui serangan balik.

Di bawah Allegri, Juventus pun memiliki kecenderungan untuk memainkan bola dari lini belakang. Juventus terlihat lebih lambat karena mengawali serangan melalui umpan-umpan pendek. Terkadang juga diselingi umpan-umpan panjang dari Andrea Pirlo (sebelum pindah ke New York City FC) dan Leonardo Bonucci.

Setelah Pirlo pergi, pemain tengah yang diplot menggantikan tugasnya adalah Claudio Marchisio. Gianluigi Buffon yang menjadi kiper utama pun berandil dalam membangun serangan dari belakang melalui umpan-umpan pendek kepada bek atau gelandangnya.

Kemudian pemain yang menerima operannya itu memiliki tiga opsi untuk melanjutkan aliran bola, entah itu ke sisi lapangan, dilepaskan ke depan, atau dikembalikan kepada Buffon agar kembali membangun serangan.

Selain membuat kesebelasannya membangun serangan secara efektif, pujian kepada Allegri disebabkan keceredasan taktis dan fleksibilitasnya menggunakan formasi yang berbeda-beda. Perlahan ia menyelingi formasi 4-3-1-2 di antara formasi 3-5-2 warisan Conte selama satu musim pertamanya melatih Juventus. Musim selanjutnya ia mencoba menerapkan formasi 4-3-3, 4-4-2 flat maupun diamond. Nilai lebih Allegri lainnya yaitu mampu membuat para pemainnya tidak kaku dalam menjalankan strateginya. Seluruh pemainnya memungkinkan untuk mendapatkan lebih banyak kebebasan dan menunjukan kreativitas di lapangan, walau di sisi lain ia memiliki gelandang serang di dalam skuatnya.

“Salah satu kualitas terbaik dari pelatih kami adalah kemampuannya untuk mendapatkan yang terbaik dari pemain-pemainnya. Bahkan ketika sistem berubah sekalipun,” kata Giuseppe Marotta, CEO Juventus.

Walau menerapkan beberapa perubahan taktik, organisasi pertahanan Juventus tetaplah kuat. Allegri sendiri tipikal pelatih yang berpegang dengan hasil akhir pertandingan tidak peduli berapa pun jumlah gol di dalam kemenangannya. Untuk menunjang hasil akhir dengan kemenangan, Allegri tahu saatnya untuk mengubah formasi di lapangan agar mempertahankan keunggulan kesebelasannya. Ketika bertahan, Juventus mempertahankan kerendahan pertahanannya dengan formasi 5-4-1. Formasi itu bisa berubah menjadi 4-4-2 ketika melancarkan pressing dalam skema middle block.

Garis pertahanan mereka yang ketat itu cocok untuk menghadapi lawan berfilosofi ball-possession. Juventus memilih fokus memutus aliran-aliran bola lawan dan mengadopsi serangan balik. Setelah memenangkan bola di lapangan tengah, formasi berubah menjadi 4-2-3-1 atau 4-3-3 untuk melancarkan serangan balik. Sementara formasi 3-5-2 diterapkan ketika memulai serangan di belakang dari situasi tendangan gawang. Dan dalam beberapa pertandingan terakhir ini, Allegri kembali melahirkan inovasi taktik terbarunya dalam formasi 4-2-3-1.

Memainkan Tiga Penyerang Sekaligus

Sebetulnya tidak ada yang aneh dengan formasi 4-2-3-1 yang baru-baru ini diandalkan Allegri sejak awal pertandingan. Toh memang Juventus sudah terbiasa menjalankan formasi itu di dalam skema serangan permainannya. Dan 4-2-3-1 juga digunakan Juventus sebagai varian serangan dari formasi 4-3-3 yang diterapkan Allegri sejak awal pertandingan.

Namun yang berbeda kali ini adalah peran Mario Mandzukic pada formasi 4-2-3-1 tersebut. Beberapa orang yang hanya mendengar Juventus menggunakan formasi 4-2-3-1 pasti akan mengira bahwa Mandzukic dipasang sebagai ujung tombak, tidak lepas dari posisi aslinya. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah di manakah Gonzalo Higuain ketika Mandzukic dimainkan dalam formasi 4-2-3-1?

Higuain diplot sebagai penyerang tengah pada skema ini. Dan secara mengejutkan Allegri dengan berani memasang Mandzukic sebagai pemain sayap kiri. Ini cukup langka mengingat pemain sayap biasanya diisi oleh pemain sayap yang memiliki kemampuan umpan silang dan kecepatan berlari atau menggiring bola yang mumpuni. Sementara Mandzukic merupakan penyerang jangkung yang lambat.

Semuanya berawal dari Juventus yang menggunakan formasi 4-3-3 sejak awal pertandingan melawan Torino pada 11 Desember 2016. Saat itu Higuain dan Mandzukic dimainkans secara bersamaan, namun bukan untuk diduetkan seperti yang biasa dilakukan ketika menggunakan formasi 3-5-2 atau 4-3-1-2. Kedua penyerang itu justru dimainkan bersamaan dalam formasi 4-3-3 yang pada dasarnya hanya menggunakan satu penyerang tengah.

Sementara baik Higuain maupun Mandzukic merupakan penyerang bertipikal target man. Namun pada laga itu Mandzukic-lah yang harus mengalah sehingga dimainkan menjadi winger kiri pada formasi 4-3-3 kala itu. Dan Rupanya keputusan itu menghasilkan kepuasan tersendiri bagi Allegri. Higuain tetap mampu mencetak gol pada laga tersebut. Di sisi lain, satu dari dua gol yang dicetaknya merupakan assist dari Mandzukic. Pada posisi barunya itu juga ia tetap bisa mengancam gawang langsung karena melepaskan empat percobaan tembakan. Dan dua diantaranya berhasil mengarah ke gawang.

Di sisi lain, penampilan baik Mandzukic sebagai winger kiri itu memang membuat pertanyaan lain tentang nasib penyerang lainnya, yaitu Paulo Dybala. Tapi tidak perlu khawatir karena tipikal permainan Dybala berbeda dengan Higuain maupun Mandzukic. Dan tentu saja Allegri tidak ingin membuat penyerang muda dan bertalenta itu mubazir di bangku cadangan. Maka alternatif lain Allegri adalah tetap memainkan ketiga penyerangnya itu secara bersamaan.

Pilihannya adalah menggunakan formasi awal yang baru, yaitu skema 4-2-3-1 ketika menghadapi Sassuolo pada 29 Januari lalu.

“Saya tidak banyak berteori. Tapi sekarang dan selanjutnya, saya datang dengan ide gila dan mencobanya di lapangan. Selama satu minggu bahkan saya sendiri tidak berpikir tentang hal itu. Tetapi setelah sesi latihan keesokan harinya, saya berpikir bahwa saya harus mengubah sesuatu,” ujarnya sebelum menghadapi Sassuolo.

Transformasi Mario Mandzukic dan Mobilitas Paulo Dybala

Pada formasi 4-2-3-1 itulah Allegri tidak membuat para penyerangnya bentrok. Higuain masih dijadikan ujung tombak andalan skuatnya. Namun Mandzukic kembali dimainkan sebagai wide target man di sisi kiri. Keputusan itu buah hasil dari adaptasi sebagai winger kiri dalam formasi 4-3-3 melawan Torino.

Namun ketika menghadapi Sassuolo, Mandzukic bermain lebih rendah dan lebar karena mendapatkan tugas tambahan untuk melindungi sisi lapangan ketika kesebelasannya kehilangan bola. Sebab ia sanggup untuk mengejar bola dari kaki lawan atas pengalamannya melakukan pressing selama memperkuat Atletico Madrid. Mandzukic pun saling mengisi dengan Alex Sandro di area sayap kiri baik ketika bertahan maupun menyerang.

Kemampuan Mandzukic dalam menahan bola pun berguna di posisi tersebut. Tekniknya itulah yang membantu Juventus mampu unggul terlebih dahulu atas Sassuolo. Mandzukic menahan bola agar memberikan waktu kepada Sandro untuk naik ke sepertiga akhir. Setelahnya, bola di kakinya diberikan kepada Sandro dan diumpan kepada Higuain sehingga menjadi gol.

Lalu bagaimana dengan Dybala? Ia diproyeksikan menjadi gelandang serang di belakang Higuain dan diapit Mandzukic di sebelah kiri serta Juan Cuadrado di sisi kanan. Dybala pun tidak canggung menjalani posisi itu karena ketika menjadi penyerang pun ia sering bergerak melebar dan turun ke tengah. Justru pada posisinya di 4-2-3-1 itu, Dybala lebih memiliki keleluasaan untuk menjelajahi lapangan tengah maupun sayap.

Di sisi lain, formasi 4-2-3-1 juga akan menjadi rotasi yang baik bagi lini tengah dan depan Juventus. Hal positif pertama yaitu memberikan kesempatan yang besar bagi Marco Pjaca agar lebih sering tampil. Apalagi Pjaca bisa menjadi opsi yang baik karena bisa bermain sebagai winger kiri maupun kanan. Dan jika Pjaca dan Cuadrado sama-sama bermain, artinya Juventus memiliki dua serangan sayap berkecepatan tinggi. Ketika pada waktunya Pjaca dimainkan secara reguler, Mandzukic akan menjadi pelapis yang sepadan untuk Higuain sebagai ujung tombak. Sementara kekosongan Dybala bisa diisi Pjanic. Di poros ganda sepeninggal Pjanic bisa digantikan Claudio Marchisio. Banyak pemain berkualitas yang bisa menggantikan satu posisi dengan posisi lainnya, begitu menyeramkan kedalaman skuat Juventus.

Keputusan pindah ke formasi 4-2-3-1 memberikan percikan dan dorongan kepada pola pikir serangan Juventus. Formasi itu juga digunakan ketika mengalahkan Lazio dan Internazionale Milan. Higuain pun terlihat jelas menikmati suplai-suplai bola pada formasi ini. Walau pada formasi tersebut Higuain harus menjadi pemantul bola bagi tiga gelandang serangnya.

Formasi 4-2-3-1 ini juga tampaknya disiapkan Juventus yang akan kembali berlaga di Liga Champions. Dalam beberapa musim terakhir, ada anggapan jika skema 3-5-2 Juventus di Liga Champions tak segarang ketika mereka berlaga di Serie A. Dengan formasi 4-2-3-1, sebagaimana kebanyakan kesebelasan Eropa menerapkan formasi dasar ini, Juventus tampaknya mencoba untuk mendapatkan peruntungan baru di Liga Champions, yang nyaris mereka raih pada 2015 lalu.  (*)