Gaduh Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR …
Kinerja DPR dalam menghasilkan produk legislasi kembali menjadi sorotan pada tahun 2016 ini. Setiap tahunnya, kerja para wakil rakyat di bidang ini memang tak pernah luput dari pantauan.
Sepanjang 2016, secara keseluruhan, DPR dinilai tak produktif. Secara kuantitas, jumlah produk legislasi yang dihasilkan tak berbanding lurus dengan segala kehebohan dan kegaduhan yang terjadi di parlemen.
Mari melihat tahun silam. Pada tahun 2015, dari 40 RUU yang masuk program legislasi nasional prioritas, hanya 3 RUU yang disahkan menjadi UU.
Sementara, pada tahun ini, hingga November 2016, dari 50 RUU dalam Prolegnas Prioritas, baru 7 RUU yang selesai.
Tak hanya itu, pembahasan RUU ini pun diwarnai sejumlah polemik, baik di internal DPR maupun di masyarakat.
Seperti dilansir kompas.com, Revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPDR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sempat menimbulkan polemik menjelang akhir tahun ini.
Pada 30 November 2016, seusai pelantikan Setya Novanto yang kembali didapuk sebagai Ketua DPR, Fraksi PDI Perjuangan melontarkan usulan revisi.
Revisi yang diminta terbatas: penambahan satu kursi pimpinan DPR dan MPR. Jatah untuk PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2014.
PDI-P gerak cepat untuk mengegolkan usulannya. Sebuah tim lobi di bawah komando Junimart Girsang dibentuk.
Tim ini melobi para pimpinan fraksi agar proses revisi berjalan lancar.
Revisi UU MD3 akhirnya disepakati masuk Prolegnas 2017. Pengesahan revisi pun berjalan secepat kilat.
Pada sidang paripurna penutupan sidang, 15 Desember lalu, UU tersebut resmi masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Mayoritas peserta sidang setuju dengan usulan PDI-P yang ingin menambah jumlah pimpinan DPR dan MPR, dari 5 menjadi 6.
Meski DPR sudah masuk ke masa reses sejak 16 Desember, tak menutup kemungkinan akan dilaksanakan rapat Badan Musyawarah (Bamus) dan pembahasan revisi dapat dilakukan pada masa reses.
Dengan demikian, pada pembukaan masa sidang awal Januari 2017, revisi UU MD3 sudah bisa disahkan.
RUU Terorisme
Pada awal tahun 2016, wacana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme mengemuka.
Wacana revisi muncul setelah peristiwa Bom Thamrin pada 14 Januari 2016.
Usulan revisi ini resmi masuk Prolegnas 2016 yang disahkan pada sidang paripurna 26 Januari 2016.
Beberapa pasal yang disorot antara lain:
1. Pasal 4A draf revisi yang mengatur tentang sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi pihak yang terlibat tindak pidana terorirsme.
2. Pasal yang berkaitan dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. TNI diusulkan terlibat bukan hanya sebagai Bantuan Kendali Operasi (BKO).
3. Pasal yang mengatur soal Dewan Pengawas. Dewan Pengawas bertugas mengawasi kinerja aparat, khususnya saat memperlakukan terduga kasus terorisme.
4. Pasal mengenai kewenangan penyidik atau penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama enam bulan atau sering disebut “Pasal Guantanamo”.
Usulan-usulan itu memunculkan kritik publik. Salah satunya mengenai pelibatan TNI.
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf menilai, keinginan mengubah pendekatan model criminal justice system menjadi model perang dalam penanggulangan terorisme itu dinilai keliru dan tidak tepat.
Pergeseran pendekatan itu dianggap berpotensi membuat penanganan terorisme menjadi lebih represif dan eksesif serta mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia.