Praktek Korupsi Sudah Meluas Hingga Tingkat Desa
Praktik korupsi kini tidak hanya terjadi di pemerintah pusat, tetapi meluas hingga pemerintah kabupaten/kota dan bahkan desa. Akan tetapi, perlindungan bagi pelapor kasus korupsi di daerah masih lemah sehingga ada di antara mereka yang menjadi korban kekerasan.
Selama 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 292 kasus korupsi di pemerintah kabupaten/kota dengan nilai korupsi Rp 478 miliar dan 62 kasus korupsi di pemerintah desa dengan nilai korupsi Rp 18 miliar. Sementara korupsi di kementerian 28 kasus dengan nilai korupsi Rp 206 miliar.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Askari Razak, Kamis (2/3), di Jakarta, mengungkapkan, perlindungan bagi pelapor dugaan korupsi di daerah masih minim. Respons aparat penegak hukum terhadap pengungkapan korupsi juga masih lemah. Pelapor dugaan korupsi di daerah malah rawan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan itu, lanjut Askari, antara lain, dialami SH. Pada 2007, dia dianiaya hingga terluka di bagian punggung dan kepalanya saat menyuarakan korupsi di Palembang, Sumatera Selatan. Namun, penganiayaan itu tak diusut aparat yang berwenang
Pada 31 Januari 2017, SH dan istrinya disiram air keras oleh orang yang tak dikenal. Peristiwa ini terjadi saat dia mengawal kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial di Pemerintah Provinsi Sumsel yang tengah disidik kejaksaan. “Untuk membiayai pengobatan istri dan dirinya, SH sudah mengeluarkan dana hingga Rp 26 juta dan sekarang SH sudah kehabisan dana. Namun, penganiayaan yang dialami tak juga diproses kepolisian setempat,” ujar Askari.
Jaminan keselamatan bagi pelapor dugaan korupsi di daerah, menurut Tama S Langkun dari ICW, tak bisa dikesampingkan. Apalagi, dari catatan ICW, selama tahun 2016, kasus korupsi di Indonesia didominasi terjadi di pemerintah kabupaten/kota hingga pemerintah desa.
Dana desa
Pemerintah desa menjadi salah satu lembaga baru yang mulai rentan terjadi praktik korupsi. Jumlahnya mencapai 62 kasus dan yang diproses ke penyidikan sejauh ini ada 48 kasus dengan nilai korupsi Rp 10,4 miliar.
Korupsi di pemerintah desa muncul sejak dana desa mulai dikucurkan. Sebagai kebijakan, Tama menyatakan, desentralisasi anggaran hingga ke perdesaan merupakan upaya pemerataan pembangunan. Namun, yang perlu diingat, ketika desentralisasi dilaksanakan, terjadi desentralisasi kekuasaan dan tentunya rawan terjadi korupsi. Guna mencegah korupsi tersebut, pengawasan mesti diperketat.
Jika melihat dominasi kasus korupsi datang dari pemerintah di daerah, lanjut Tama, hal itu mengindikasikan pengawasan di internal pemerintahan di daerah masih lemah.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, dari segi regulasi, perlindungan bagi pelapor dugaan korupsi itu sudah memadai. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Namun, kenyataannya, implementasi dari PP itu tak pernah ada. Ini kondisi yang kritis,” katanya. (*)