Politik

Rezim Pilkada Lahirkan Raja-raja Politik Dinasti

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia, Arif Susanto menyebut, setidaknya ada lima masalah besar dalam rezim pemilihan kepala daerah.

Pertama yakni adanya politik identitas, di mana identitas primordial kerap dimanfaatkan untuk menghasilkan dukungan emosional.

“Bukan Pilkada sumber konflik tapi penyalahgunaan melalui ikatan primordial untuk kepentingan politik yang menjadi persoalan jangan lagi gunakan ikatan primordial untuk perkuat polarisasi masyarakat,” kata Arif dalam diskusi di Kawasan Sarinah, Jakarta, Selasa, 3 Januari 2017.

Kedua adanya politik dinasti. Menurutnya meski kekuasaan politik kini terdistribusi dengan baik dibanding masa orde baru, namun politik dinasti akan terus bertahan akibat kebebasan dan kontestasi politik yang menumpang pada demokrasi.

“Pemusatan ekonomi berlangsung sampai hari ini bahkan sampai berlangsung pada tingkat jarak yang begitu tajam. Konsekuensinya di daerah tertentu berkembang raja-raja kecil yang jadikan politik jadi akses ekonomi sehingga membuat adanya jual beli pengaruh,” ujarnya

Ketiga yaitu masalah korupsi politik di mana oligarkisme di tubuh partai politik membuat para politikus harus menyediakan donasi politik besar agar diakomodasi. Lalu, komunikasi politik elite-massa tidak terbangun baik kemudian para kandidat dan parpol lantas berusaha memompa popularitas dan elektabilitas dengan berbiaya mahal.

“Keduanya menjadi penyebab pokok korupsi politik untuk meminimasi itu perlu pelembagaan politik demi menghindari olirgakisme dan transparansi aktivitas politik,” ujarnya.

Keempat, kaburnya polarisasi politik. Dia menilai, pragmatisme politik demi mendapatkan kekuasaan telah melunturkan ideologi politik parpol. Kaburnya polarisasi berdampak pada rentannya konflik politik dan sulitnya identifikasi afiliasi politik oleh massa.

“Masalah terakhir, rendahnya literasi politik. Rendahnya literasi politik telah dimanfaatkan kalangan elite untuk memperdaya publik pemilih yang berakibat prosedur demokrasi gagal melahirkan pemimpin yang legitimate,” katanya. (*)